Jejak Dago dari Masa ke Masa
SerambiBisnis.com - Di Kota Bandung, Jawa Barat, kawasan Dago begitu dikenal, baik itu oleh orang Bandung sendiri, wisatawan lokal, maupun pelancong yang datang dari mancanegara. Ketika berada di sana, rindang pepohonan yang menjulang tinggi di bahu kanan dan kiri jalan membuat kawasan itu lebih sejuk daripada kawasan lainnya di Kota Bandung. Aksesori berupa lampu-lampu penerangan yang bentuknya antik di hampir sepanjang jalan utama kawasan itu semakin menambah kekhasan Dago.
Bagi pejalan kaki, Dago juga surganya. Di kawasan itu trotoar terhampar lebar dan bersih, deret pertokoan menjual berbagai makanan dan minuman serta etalase-etalase menjajakan karya-karya seni. Dago memang selalu dijadikan pelintasan pilihan dengan berbagai kelebihannya.
Keberadaan kawasan Dago seperti sekarang ini tentu tidaklah terjadi begitu saja. Sebelum tenar, saat zaman kolonial kawasan Dago dijadikan sebagai permukiman elite yang dihuni para tuan tanah orang-orang Belanda. Posisinya pada ketinggian sekitar 690-730 mdpl sehingga bersuhu rendah, yang malam hari berkisar 18 derajat celsius, menjadikan kawasan tersebut favorit bagi orang Eropa.
Namun bagi masyarakat pribumi, Dago hanyalah sebagai tempat persimpangan untuk saling menunggu satu sama lain, tepatnya di Simpang Dago. Biasanya, mereka datang dari arah utara, timur, dan barat, lalu berkumpul di Dago Tengah untuk pergi ke kota arah selatan.
Katanya, dulu kalau hendak ke kota, saling menunggu dulu di simpang (padago-dago heula di simpang) sebab di sini masih hutan belantara. Ada ungkapan ditunggu-tunggu malah ke ledeng (Didago-dago kalah ka ledeng).
.
Dengan kondisi geografis hutan belantara dan rawan binatang buas, kebiasaan penduduk pribumi untuk saling menunggu tadi dalam bahasa Sunda padago-dago. Mereka biasanya ke kota saat pagi buta, tujuannya untuk aktivitas jual-beli yang saat ini tempatnya dikenal dengan Pasar Baru. Mata pencaharian penduduk pribumi sendiri kebanyakah bercocok tanam, seperti singkong dan ubi.
Dari sanalah asal-muasal nama Dago muncul. Nama kawasan yang berada 5 km dari titik nol Kota Bandung ke arah utara itu berasal dari bahasa Sunda, yaitu dagoan yang berarti menunggu atau ditunggu. Orang Belanda menamainya dengan Dagostraat, lantas berubah menjadi Dago sejak 1950. Di situ ada jalan utama yang membelah kawasan Dago bernama Jalan Ir. H. Juanda.
Pada pertengahan abad ke-19, di antara kawasan yang sekarang disebut Simpang Dago dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) terdapat hutan belukar. Jalanannya pun masih berupa tanah dan bebatuan koral, serta tidak dilalui kendaraan. Kondisi itu sangat kontras dengan yang bisa disaksikan sekarang. Dago modern semakin ramai dikunjungi orang, baik secara rombongan ataupun perorangan tanpa takut lagi diganggu binatang buas. Berbagai keperluan pun bisa didapat di sini.
.
Sisa kolonialisme
Dalam perkembangan, kini bangunan peninggalan Belanda di kawasan Dago tinggal beberapa yang tersisa. Bentuknya khas, memiliki desain yang sengaja disesuaikan dengan kondisi iklim saat ini.
Tampak beberapa bangunan memiliki atap yang curam untuk mengantisipasi curah hujan di Dago yang relatif tinggi. Dalam catatan sejarah, rumah pertama yang dibangun adalah rumah peristirahatan Andre van der Brun, seorang tuan tanah Belanda, pada 1905. Saat ini lokasinya bersebelahan dengan Hotel Jayakarta.
Ada lagi rumah kedua bekas Andre van der Brun yang saat ini dijadikan restoran dan tempat digelarnya beberapa acara kesenian setiap minggu, seperti jaipongan, karawitan, angklung, pantun buhun, tembang Sunda, wayang golek, dan berbagai seni budaya Sunda lainnya. Belakangan sedikit bergeser karena dipadu dengan jenis musik modern.
Tak jauh dari situ, ada Dago Tea House. Presiden Soekarno dulu sering berkunjung ke situ untuk menginap. Ia seperti tak rela jika hanya orang Belanda yang menikmati tempat peristirahatan itu.
Kawasan Dago semakin ramai saat menginjak 1960, di bagian selatan jalan, termasuk Dago Bawah, dijadikan anak-anak muda tempat nongkrong dan lokasi kuliner. Nah, tahun 1970 menjadi babak baru perkembangan Dago. Pemerintah Kota Bandung memperlebar jalan-jalan di kawasan itu sekaligus mempercantiknya dengan berbagai tambahan elemen penerangan.
Memasuki tahun 1990, pertambahan penduduk di Bandung, khususnya, dan pertumbuhan ekonomi mulai muncul. Pengaruh dari perkembangan zaman itu salah satunya ialah munculnya komunitas-komunitas anak muda.
Konon di kawasan Dago ada satu rumah yang pernah dijadikan tempat berkumpulnya para pemuda hippies. Hippies sendiri sebutan bagi para penganut flower generation. Mereka senang menggunakan baju bermotif bunga sebagai tanda cinta perdamaian. Aksesori-aksesori seperti kalung manik-manik, celana jins dan jaket hasil sulaman sendiri. Fesyen yang dianut mereka dijadikan sebagai penolakan terhadap kaum berdasi saat itu.
Dari kebiasaan anak muda itu, beberapa kawasan di Dago saat ini selalu dikunjungi anak-anak muda untuk berkumpul sekadar menghabiskan waktu, nongkrong, belanja, dan makan sebagai warisan kebiasaan dari anak muda sebelumnya.
Beda masa beda cerita, kegiatan berkumpul yang saat ini didominasi anak muda, mahasiswa, dan pelajar menjadikan kawasan Dago tempat berkreativitas yang tersebar di beberapa kampus dan tempat belajar.
Bahkan di kawasan itu pula transformasi budaya terasa berjalan cepat. Kawasan Dago kini merupakan sebuah kawasan yang dikhususkan untuk pengembangan dan pelestarian budaya, khususnya untuk mengenalkan budaya Sunda yang sekarang populer dengan nama Taman Budaya Dago.
Kawasan Dago yang dulu elitis kini menjadi lokasi yang lebih familier. Siapa pun bisa melintas dan menikmati suasananya yang memang sejuk dan memesona.