Sejarah Penemuan Bel Sepeda, Teknologinya Sederhana, Namun Efektif
SerambiBisnis.com - Bel sepeda merupakan aksesoris berupa instrumen penanda. Sampai hari ini, pemasangan bel pada setang memang tak berubah, yakni di dekat handvatten (handlegrip) baik sebelah kiri maupun kanan. Benda berbentuk kubah mini ini bukan semata-mata pajangan tetapi punya fungsi yang cukup penting bagi pengendara sepeda.
Dalam sejumlah literatur disebutkan bahwa bel sepeda pertama kali diperkenalkan oleh John Richard Dedicoat (1840-1903). Lelaki kelahiran Birmingham, Inggris, mematenkan penemuannya itu pada awal 1877. Selain bel, Dedicoat pun menjadi produsen dan menjual sepeda bernama Pegasus hasil rancangannya.
Pada awal penemuan, bel sepeda belumlah begitu masyhur. Akan tetapi, penanda itu mulai banyak diminati 25 tahun setelahnya dan ditandai dengan produksi secara massal. Antara tahun 1900 hingga 1930-an menjadi masa populernya bel sebagai pelengkap penting pada sepeda. Sejak itu, banyak produsen yang melengkapi sepedanya dengan bel bermerek sama (sepeda dan bel satu merek).
Sebuah bel terdiri dari beberapa komponen mekanis (bagian dalam) seperti lever, hammer, pinion wheel, dome spring, dan lever spring. Bagian yang tampak luar antara lain dome (penutup) dan base sebagai landasan seluruh komponen bekerja. Hampir seluruh komponen terbuat dari bahan logam. Untuk bisa dipasang pada setang, bel dilengkapi dengan sebuah clip dan sekrup.
Paduan gerak-putar mekanis dari komponen bagian dalam itulah yang kemudian menimbulkan bunyi yang berasal dari pukulan pada dome, lantas bergema. Bunyi diawali oleh adanya gerak tuas yang terhubung langsung pada komponen mekanis. Yang lebih sederhana, bel terdiri dari dome dan hammer yang keseluruhannya tampak dari luar. Secara lumrah, tuas digerakkan dengan didorong ibu jari.
"Kring...!" begitulah kebanyakan orang menirukan bunyi bel sepeda. Akan tetapi, pada perkembangannya bel pun punya banyak model atau jenis. Bunyi yang dihasilkan tak lagi single, tetapi juga dapat menghasilkan suara ganda dan khas. Sebut saja bel jenis revolving. Seperti namanya, kubah bel bisa berputar seraya menimbulkan bunyi yang relatif nyaring dan cepat dalam sekali putaran. Ada juga yang tegas dan padat berbunyi "ting... tong...!" dan "ding ... dong ....'" yang lebih bergema, atau bel berbunyi unik "koekoek!" dan banyak lagi.
Intensitas bunyi bel yang umum dipasang pada setang memang tergantung pada seberapa banyak tuas itu didorong. Lain halnya dengan spakenbel atau bel jari-jari roda. Kenyaringannya akan sangat bergantung pada putaran roda. Semakin cepat roda depan berputar, maka bunyi bel akan semakin nyaring dan sebaliknya.
Spakenbel umum dipasang pada fork dan dihubungkan dengan kawat atau kabel hingga berujung pada tuas yang dipasang pada setang. Jika tuas itu didorong, maka tuas bawah yang menyatu dengan rumah bel akan mengenai jari-jari dan memukul dome. Bunyi akan timbul seiring roda berputar dan bergema. Sayangnya, bel semacam ini sudah terbilang langka digunakan sekalipun di kalangan pehobi.
Meski dipasang pada sepeda milik pribadi, bel sesungguhnya ditujukan untuk orang lain di sekitar. Ya, bel dibunyikan sebagai penanda, mengingatkan, dan memberitahukan kepada pengendara lain akan kehadiran si empunya sepeda. Di samping itu, bel juga kerap difungsikan sebagai media tegur sapa. Acapkali terlihat para pengendara sepeda yang berpapasan membunyikan belnya walau tak saling mengenal. Mereka saling menyapa, "kring... kring...!"
Sepeda sebagai kendaraan yang tak menimbulkan bising menjadi "lebih hidup" karena bunyi yang sesekali ditimbulkan pengendara dari bel itu. Fungsi bel sepeda pada sepeda layaknya klakson pada kendaraan bermesin. Namun, bel sepeda lebih ramah karena suara yang ditimbulkan cenderung tidak memekakkan telinga.
Demikianlah sejarah penemuan bel sepeda. Lebih dari satu seperempat abad bel telah memberi peran penting sebagai penanda bagi pengendara sepeda. Secara verbal, kehadirannya dirasa lebih efektif ketimbang berteriak untuk sekadar memberi informasi kepada pengendara lain di hadapan.