Museum Perundingan Linggarjati, Gedung Saksi Bisu Penentuan Nasib Bangsa Indonesia
SerambiBisnis.com - Gedung Perundingan Linggarjati ini telah menjadi saksi bisu penentuan nasib bangsa Indonesia dan terkenal hingga mancanegara. Sebelum menjadi museum, pada 1918 Gedung Perundingan Linggarjati hanyalah gubuk kecil milik warga pribumi, Ibu Jasitem, yang kemudian diperistri orang Belanda, Tuan Tersana. Dia adalah pemilik pabrik gula Tersana Baru di Sindanglaut, Cirebon. Kabarnya, ia merombak gubuk kecil itu menjadi rumah peristirahatan semipermanen untuk Jasitem.
Pada 1930, rumah yang dibangun Tuan Tersana tersebut dibeli warga Belanda bernama Van Ost Dome, ia merombak bangunan menjadi gedung permanen untuk tempat tinggalnya bersama keluarga. Pada 1935, rumah itu disewa warga Belanda, Heiker, untuk dirombak menjadi Hotel Rustoord. Usaha perhotelannya cukup berkembang hingga pada 1942 tentara Jepang merebutnya dan mengubahnya menjadi Hotel Hokay Ryokan.
Hotel Hokay Ryokan direbut oleh pejuang RI untuk dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sejak 1945 namanya diubah menjadi Hotel Merdeka. Seusai Perang Dunia II, Belanda membonceng sekutu ingin menguasai lagi kawasan Hindia Belanda. Sekutu yang dipimpin Inggris mencoba menengahi ketegangan dengan mengadakan perundingan.
Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II Maria Ulfah Santoso, memilih Hotel Merdeka sebagai tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda. Usul Maria Ulfah disetujui Sutan Sjahrir, Perdana Menteri sekaligus Ketua Delegasi Perundingan Indonesia. Pada 11-13 November 1946, di gedung itulah perundingan pertama antara RI dan Belanda dilakukan.
Pemerintah RI diwakili Sutan Sjahrir sedangkan Belanda diwakili Dr. Van Boer. Pihak penengah adalah Lord Killearn, wakil dari Inggris. Dari hasil perundingan Linggarjati, diperoleh kesepakatan berupa naskah persetujuan yang kemudian diparaf kedua belah pihak di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, 15 November 1946.
Naskah perjanjian Linggarjati yang terdiri atas 17 pasal ditandatangani Sutan Sjahrir sebagai perwakilan delegasi Indonesia dan Prof Ir W Schemerhom, perwakilan delegasi Belanda di Istana Merdeka, Jakarta pada 25 Maret 1947. Dengan ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati, dunia internasional mengakui kekuasaan de facto RI. Dimulai dari Inggris pada 31 Maret 1947, Amerika Serikat pada 23 April 1947, Mesir mengakui Indonesia secara de facto dan de jure pada 10 Juni 1947, disusul negara lain, seperti Lebanon, Syria, Irak, Afghanistan, Arab Saudi, Yaman, dan Burma.
Setelah itu, lokasi gedung dipakai sebagai markas militer Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. Lalu dikosongkan pada 1949. Pada 1950-1975, gedung dialihfungsikan menjadi gedung Sekolah Dasar Negeri Linggarjati. Saat dipakai sekolah, kondisi gedung tidak terawat dan pada 1976, bangunan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan Museum Memorial Perundingan Linggarjati.
Museum yang terletak di Desa Linggarjati Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan tersebut dibuat persis seperti saat perundingan Linggarjati berlangsung, tak ada yang berubah, seperti ruang sidang, ruang sekretaris, kamar tidur Lord Killearn, ruang pertemuan Presiden Soekarno dan Lord Killearn, kamar tidur delegasi Belanda, kamar tidur delegasi Indonesia, ruang makan, kamar mandi, paviliun, dan garasi. Di kawasan Museum Linggarjati juga terdapat objek wisata Hutan Linggarjati, taman, dan areal wisata kuliner. (E. Saepuloh/PRM/15092019)