Curug Putri Palutungan, Air Terjun Tempat Pemandian Bidadari di Kaki Gunung Ciremai
SerambiBisnis.com - Curug Putri Palutungan tertetak di kawasan Bumi Perkemahan Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Objek wisata itu berupa kawasan hutan dan air terjun yang berlokasi di kaki Gunung Ceremai. Kawasan itu bisa dicapai melalui salah satu jalur pendakian menuju ke puncak Ceremai (3.078 meter di atas permukaan laut).
Nama curug dipercaya berasal dari cerita rakyat sebagai tempat pemandian putri Kahyangan, tempat bidadari turun ke Bumi. Dengan debit air yang cukup deras dan jarang surut, percikan air di Curug Putri terlihat memberikan siluet atau penampakan orang bergaun lebar dengan tubuh semampai bak putri raja.
Apabila hujan turun gerimis dan sinar matahari menyinari air terjun, dari kawasan curug itu terlihat pelangi atau katumbiri dalam bahasa Sunda. Warga percaya, saat itulah para dewi Kahyangan yang cantik jelita turun ke bumi lewat air terjun setinggi sekira 20 meter itu. Banyak yang meyakini air yang mengalir dari Curug Putri berkhasiat sebagai penyembuh.
Curug itu juga cukup dikenal oleh pengunjung yang menganggap tempat itu keramat. Banyak yang datang hendak meminta berkah. Kesan mistis mengundang sebagian orang untuk datang dengan berbagai alasan yang lebih dari sekadar rekreasi.
Berdasarkan penuturan warga setempat, Curug Putri dulu pernah menjadi tempat bermain noni Belanda pada masa kolonialisme. Noni-noni Belanda itu suka bermain air atau mandi, lantaran letak Curug Putri tak begitu jauh dari pusat Kota Kuningan, sekitar 9 kilometer atau 15 menit bila memakai kendaraan.
Luas area Curug Putri atau Bumi Perkemahan Palutungan sekitar 50 hektare yang sejak 1984 dikelola Perum Perhutani. Akan tetapi, mulai 2004 dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Nama Palutungan bagi orang Sunda mengingatkan pada primata sejenis monyet berwarna hitam berekor panjang, yakni lutung (Trachypithecus auratus) atau lutung jawa, kendati wama lutung tak selalu hitam.
Lutung juga cukup identik dengan film Indonesia lama, "Lutung Kasarung". Malah, film itu termasuk film pertama yang diproduksi di Indonesia pada 1926 serta dibuat ulang pada 1952 dan 1983.
Palutungan dapat berarti tempat lutung, seperti halnya daerah Pamijahan, tempat mijahkeun atau beternak ikan, pasamoan, tempat bertemu. Warga setempat sangat percaya bahwa di tempat itu lutung pernah memiliki habitat yang cukup lama, hingga akhirnya hilang. Kawasan itu difungsikan sebagai hutan lindung seperti misinya sejak mula. Selain jajaran pohon pinus dan berbagai tanaman lain, juga jadi habitat fauna endemik di antaranya ayam hutan atau cengehgar, babi hutan atau celeng, elang jawa, gagak hitam, dan aneka burung.
Di Bumi Perkemahan Palutungan selain area camping ground, ada fasilitas lain yang dapat dinikmati, seperti penyewaan tenda, flying fox. Juga tersedia tempat parkir, toilet umum, sarana ibadah, warung jajanan, pusat informasi, dan sarana olah raga. (E. Saepuloh/PRM/13102019)