Mengintip Kiprah Anggia Bonyta Menjalankan Bisnis Rumah Makan “Imah Babaturan”
Nama Anggia Bonyta dikenal sebagai sosok kreatif yang multitalenta. Anggia, yang biasa disapa Anggi, merambah dunia radio, menekuni profesi master of ceremony (MC), mengulik dunia marketing communication, menikmati literasi, mencandu lari, dan kini bersama sang suami menjalankan usaha rumah makan yang menjagokan masakan rumahan. Siap mengenal Anggi lebih dekat?
Pagi hari Anggi hampir selalu dihidupkan oleh segelas es kopi latte dan sehelai roti oma, yakni roti tawar klasik yang dioles mentega dan ditabur gula pasir lalu di-seupan, di warung kopi "kampung” di tengah kota. Imah Babaturan namanya.
Sudah hampir lima tahun terakhir ia dan suami, Muhammad Nurul Hudha, menjalankan bisnis kuliner tersebut. Mereka menyebutnya warung kopi "kampung” karena menjagokan masakan "kampung” yang membumi sehingga tentu saja akrab di lidah.
Lokasi yang cukup strategis di belakang Balubur Town Square, tepatnya di Jalan Kebonbibit, Kota Bandung, membuat banyak orang dari berbagai kalangan mampir dan terus kembali.
Tadinya ia dan suami memulai Imah Babaturan seadanya. Mereka berpikir di Bandung sudah banyak sekali tempat makan enak. Makanya, kalau ternyata tidak berhasil, ya ditutup saja setelah tiga bulan. Ternyata awet sampai sekarang.
Hampir setiap pagi, ia berada di Imah Babaturan. Bagi Anggi, kehadirannya bukan sekadar menjelma sebagai pemilik yang melakukan fungsi kontrol atau bahkan membantu apa yang bisa dia kerjakan. Lebih dari itu, hadir di ruang itu bagaikan me-recharge energi sebelum menuntaskan berbagai kesibukan sepanjang hari. Kalau pagi tidak ke sini, seperti ada yang kurang.
Punya warung makan yang menyuguhkan masakan rumahan punya cerita menarik untuk Anggi. Dia merasa bahagia ketika ada pengunjung yang menghampirinya dan mengatakan bahwa mereka bahagia bisa mencicipi masakan yang ada. Masakan rumahan memang tak melulu bicara soal varian dan rasa, tetapi juga memori.
Biasanya, di siang hari ia baru berangkat ke kantor. Sejak beberapa waktu terakhir, ia berperan sebagai marketing communication di Screamous, salah satu perusahaan ritel pakaian asal Bandung.
Dia merasa beruntung punya jam kantor yang fleksibel. Itu pula sebabnya, ia masih punya waktu dan energi cukup untuk mengerjakan hal lain yang menjadi renjananya. Seperti menjadi MC yang masih dinikmatinya, meskipun butuh waktu lama buat Anggi meyakinkan diri agar bisa dan mau memandu acara.
Dunia radio
Sejak menonton film "Up Close and Personal” yang dirilis 1996, Anggi menyimpan keinginan kuat menjadi reporter. Oleh karena itu, ia memutuskan berkuliah di Program Studi Penyiaran Fikom Unpad.
Jalan hidup menuntunnya pada hal lain. Setelah lulus, ia bekerja di MGT Radio Bandung. Sebagai fresh graduate, ia punya banyak tugas. Mulai dari menulis naskah siaran hingga menjadi copy writer.
Beberapa waktu kemudian, Anggi mendapatkan tawaran menarik bergabung dengan salah satu radio di Kuta, Bali. Ia menjalankan tugasnya di bagian program development. Di sana lumayan lama, 2,5 tahun. Tapi ia ingin sekali kembali ke Bandung. Salah satunya karena kangen makanan Bandung yang enak-enak itu. Ia pikir, Bali cuma enak jadi tempat liburan, bukan menetap.
Setelah mendapatkan tawaran kerja di perusahaan telekomunikasi, Anggi akhirnya kembali ke Bandung. Akan tetapi, ia tak terlalu betah karena atmosfer kerja di kantor barunya itu dirasa tidak cocok dengannya. Akhirnya ia dapat tawaran lagi buat balik ke dunia radio.
Di UFM Radio Bandung, Anggi dipercaya sebagai produser, untuk kemudian menjadi penyiar. Dari situ, ia mendapatkan banyak tawaran menjadi MC yang selalu ia tolak karena merasa kurang percaya diri. Tiap dapat job, ia alihkan ke temannya. Duh, sekarang kalau ia pikir-pikir, sayang juga.
Baru ketika ia menjadi Marketing Communication Selaras Guest House, Anggi terpaksa menyeret dirinya sendiri untuk berbicara di atas panggung untuk memandu acara. Pemicunya sederhana saja, ia harus membuat berbagai event. Daripada membayar MC, ya sudahlah mending ia saja. Eh ternyata ketagihan sampai sekarang.
Belajar hal baru
Sambil berkecimpung di dunia penyiaran, Anggi mengambil job sebagai penulis lepas untuk beberapa majalah di Jakarta. Dia menulis review soal tempat-tempat hits di Kota Bandung hingga persoalan parenting, meski saat itu ia belum menikah dan memiliki anak.
Anggi kemudian bergabung dengan salah satu agency di Jakarta untuk meneruskan kesukaannya menulis. Hingga kemudian, kesibukan barunya sebagai ibu dari Kilau Kinar Hudha membuatnya tak memungkinkan untuk terus bepergian ke Jakarta setiap waktu. Akhirnya ia memutuskan untuk meng-handle klien di Bandung saja.
Melakoni pekerjaan di beberapa bidang, mengharuskan Anggi terus belajar hal baru. Apalagi, ia dan suami juga menggarap bisnis sendiri.
Punya bisnis sendiri tentu harus banyak belajar. Awalnya dilihat simpel, tapi begitu dijalani ternyata banyak sekali variannya. Lewat berbagai aktivitas itu, Anggi seolah terus belajar mengenali diri sendiri. Dia terus berdamai dengan kehidupan. Anggi berharap bisa selalu bersyukur terhadap segala pencapaian sehingga bisa terus menikmati hidup dan bermanfaat untuk orang-orang di sekelilingnya.
Di sisi lain, Anggi tak punya pengharapan muluk. Di benaknya, ia hanya harus menjalani dan menjawab semua persoalan yang terjadi hari ini, untuk melanjutkan hidup esok hari.
Soalnya, kalau hidup terlalu dipikirkan dan dikonsep, kayaknya pusing saja. Ia tidak mau muluk-muluk, bersyukur dan jalani hari saja. Meskipun demikian, bukan berarti Anggi tak bekerja keras untuk mengejar mimpi. Ia tak ingin meletakkan ekspektasi terlalu tinggi. Ekspektasi yang terlalu tinggi hanya akan membuat jatuh terlalu dalam ketika tak berhasil dicapai.
Posting Komentar untuk "Mengintip Kiprah Anggia Bonyta Menjalankan Bisnis Rumah Makan “Imah Babaturan”"